Integritas di Ujung Tanduk: Ketika Pemimpin Melanggar Kode Etik .

0
35

Integritas di Ujung Tanduk: Ketika Pemimpin Melanggar Kode Etik

Oleh: Dr. Media Sucahya, M.Si

Dosen Universitas Serang Raya, Banten

Dalam kurun waktu yang singkat, Indonesia menyaksikan dua peristiwa besar terkait pelanggaran kode etik yang melibatkan pemimpin lembaga negara. Pada Juli 2024, Ketua KPU, Hasyim Asy’ari, diberhentikan oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu karena tindakan asusila terhadap anggota Panitia Pemilihan Luar Negeri Belanda. Beberapa bulan sebelumnya, pada November 2023, Ketua Mahkamah Konstitusi, Anwar Usman, mengalami nasib serupa setelah terbukti melanggar kode etik terkait uji materi perkara nomor 90/PUU-XXI/2023.

Kedua tokoh tersebut, meskipun terjebak dalam kontroversi, memilih untuk tunduk pada keputusan Dewan Kehormatan. Mereka mundur secara sukarela, sebuah langkah yang menegaskan pentingnya lembaga ini dalam menjaga integritas lembaga negara.

Namun, tidak semua institusi atau organisasi mendapatkan penghormatan yang sama terhadap keputusan dewan etiknya. Dalam beberapa kasus, keputusan Dewan Kehormatan dipertanyakan, bahkan ditolak, oleh pihak-pihak yang terkena sanksi. Sebagai contoh, pada Maret 2022, Dr. Terawan Agus Putranto diberhentikan dari keanggotaan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) oleh Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK). Meskipun menerima keputusan tersebut, Dr. Terawan kemudian mendirikan Persatuan Dokter Seluruh Indonesia sebagai bentuk perlawanan.

Kasus yang lebih mencolok terjadi di Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Pada Juli 2024, Ketua PWI Pusat, Hendry Ch. Bangun, diberhentikan oleh Dewan Kehormatan PWI Pusat karena melanggar Kode Perilaku Wartawan dan Kode Etik Jurnalistik. Hingga Oktober 2024, Hendry masih menolak keputusan tersebut, menunjukkan adanya tantangan dalam penegakan kode etik, bahkan dalam profesi yang sangat membutuhkan integritas seperti jurnalistik.

Kode etik dalam profesi bukan hanya sekadar aturan formalitas; ia merupakan cerminan dari nilai-nilai moral yang harus dijunjung tinggi oleh setiap anggotanya. Etika, yang mendasari pembentukan kode etik, berbicara tentang apa yang baik dan buruk, tentang hak dan kewajiban moral seseorang dalam menjalankan profesinya.

Ketika seorang pemimpin melanggar kode etik, ia bukan hanya melanggar aturan institusi, tetapi juga melanggar kepercayaan publik. Pelanggaran ini, bila tidak ditangani dengan serius, dapat berimplikasi pada hilangnya kepercayaan publik terhadap institusi yang bersangkutan. Di dalam profesi jurnalistik, misalnya, pelanggaran kode etik yang tidak ditindak dapat menggerus kredibilitas wartawan dan organisasi, sehingga produk jurnalistik yang dihasilkan tidak lagi dipercaya oleh masyarakat.

Dewan Kehormatan di berbagai organisasi, termasuk di lembaga negara seperti KPU dan Mahkamah Konstitusi, memiliki peran vital dalam menjaga profesionalisme dan integritas. Tanpa keberadaan dewan ini, pelanggaran-pelanggaran etika akan terus terjadi tanpa ada mekanisme penegakan yang jelas. Keputusan-keputusan yang diambil oleh Dewan Kehormatan harus diindahkan oleh setiap anggota yang terkena sanksi. Sayangnya, dalam kasus seperti yang terjadi di PWI, ada penolakan yang justru merusak citra organisasi itu sendiri.

Setiap profesi memiliki tanggung jawab moral kepada publik, terutama profesi yang bersinggungan dengan kepentingan umum, seperti jurnalis, dokter, dan pejabat negara. Pelanggaran kode etik adalah pelanggaran terhadap tanggung jawab ini, dan tindakan tersebut tidak boleh dianggap remeh.

Ke depan, organisasi seperti PWI harus memastikan bahwa para pemimpinnya memiliki kapasitas moral dan pemahaman hukum yang memadai. Penghormatan pada kode etik dan aturan yang mengatur profesi mereka bukan hanya soal formalitas, tetapi merupakan fondasi penting bagi keberlangsungan organisasi dan peranannya dalam masyarakat.

Di tengah krisis integritas yang kita hadapi saat ini, perlu ada penegasan bahwa kode etik bukanlah aturan yang bisa dinegosiasikan atau diabaikan. Sebab, ketika kode etik dilanggar dan integritas runtuh, yang terancam bukan hanya organisasi, tetapi juga kepercayaan publik terhadap seluruh sistem demokrasi dan profesionalisme yang kita junjung tinggi.

Maka, ketika pemimpin seperti Hendry Ch. Bangun menolak tunduk pada keputusan Dewan Kehormatan, kita harus bertanya: apakah ini sekadar perlawanan pribadi, atau cerminan dari krisis moral yang lebih dalam? Mengutip lirik dari lagu Rhoma Irama, “Begitu mudahnya janji diingkari, begitu banyak dusta yang terjadi,” kita diingatkan bahwa integritas, seperti janji, tidak boleh dilanggar begitu saja.

Sebab pada akhirnya, yang paling dirugikan adalah kita semua.

Redaksi. 03.001

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini