MEMAKNAI HAK JAWAB DAN PENGHAPUSAN BERITA , ATAU DIGUNAKANNYA HAK TOLAK.
TINJAUAN SOSIAL DAN HUKUM, POLEMIK IJAZAH TERTAHAN DI SMAN 1 SUKOHARJO PRINGSEWU.
Pringsewu, trust media.id
Sebenarnya tidak ada aturan formal yang membatasi pemakaian hak tolak oleh pers. Kendati begitu ini tidaklah berarti hak tolak dapat dipergunakan tanpa persyaratan apapun. Pemberian kewenangan kepada pers untuk mempergunakan hak tolak baik oleh Undang-undang maupun oleh Kode Etik Jurnalistik dibatasi oleh filosofis, jiwa dan isi Kode Etik Jurnalistik dan Undang-undang Pers itu sendiri. Artinya, pemakaian hak tolak tidaklah boleh bertentangan dengan kepentingan filosofis, jiwa dan isi baik dari Kode Etik Jurnalistik maupun UU Pers. Berdasarkan hal itu, pemakaian hak tolak harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
(a) Adanya kepentingan umum yang lebih besar daripada kepentingan pribadi atau kelompok. Banyak narasumber yang ingin mengungkapkan sesuatu kepada wartawan yang menurut mereka penting tetapi meminta identitas dan keberadaan dirahasiakan.
Dalam hal ini wartawan harus berhati-hati dengan meneliti lebih dahulu, apakah informasi yang ingin disampaikan benar benar mengandung kepentingan umum ataukah cuma untuk kepentingan si pemberi informasi saja. Jika ternyata informasi itu semata-mata hanya untuk kepentingan si pemberi informasi saja, HARUS DITOLAK WARTAWAN dengan tiga alasan.
Pertama, wartawan cuma diperalat saja. Kedua, narasumber tidak berniat baik. Dan ketiga, yang terpenting, tidak ada manfaat bagi kepentingan umum.
Contohnya : Dalam edisi Trustmedia.id tanggal 4 Januari 2022, ketika mengangkat MASALAH IJAZAH DITAHAN SEKOLAH, serta merta setelah berita menjadi konsumsi Pemirsa atau Publik, Pihak sekolah menekan siswa tersebut ( yang sedang bekerja part time di Trustmedia.id ) bahwa informasi itu tidak benar dan dengan sukarela memberikan ijazah dengan CATATAN menanda tangani Pernyataan bersalah dalam memberikan informasi serta meminta PENGHAPUSAN BERITA .
disini kemudian terlihat dengan sangat Jelas, Kepala sekolah mendudukkan dirinya sebagai Kepala sekolah yang berkuasa atas Muridnya. Kepada Redaksi seolah menjelaskan tidak adanya Pertemuan dirinya dengan sang Murid. Padahal secara umum Siapapun yang berada diwilayah sekolah dapat dimintai keterangan tentang itu, dan tidak tergantung pada Personality seseorang.
Istilah GURU,. Digugu dan ditiru, menjadi bias. Kehilangan substansi dan penguatan Kepetingan Pihak sekolwh.
Peristiwa dan tekanan yang terjadi, seolah menggambarkan bahwa MURIDLAH YANG BERSALAH, dan memasukkan umsur Pelanggaran dalam wilayah ABU ABU.
proses Pembenaran yang dilakukan, apakah hanya bertujuan “balas dendam” saja , karena telah terpublikasikannya kesalahan ataukah memang ada kepentingan yang lebih luas bagi publik. Jika hanya sekadar untuk membalas dendam saja dan masalahnya tidak ada kaitannya dengan kepentingan umum, perlu ditolak.
(b) Adanya kemungkinan ancaman yang sangat serius terhadap keselamatan narasumber dan keluarganya. Harus ada keseimbangan antara kemungkinan ancaman yang timbul dengan perlindungan yang diberikan kepada narasumber. Jika ancamannya kemungkinan tidak berat, tidak perlu mempergunakan hak tolak. Sebaliknya apabila kemungkinan ancaman berat apalagi bahaya, perlu dipertimbangkan pemakaian hak tolak. Adanya bahaya Adanya bahaya ancaman yang besar inilah yang membuat identitas dan keberadaan narasumber harus dirahasiakan oleh pers.
Memakai istilah SANG KEPALA SEKOLAH, WADUH GIMANA ANAK ISTERI SAYA DAN KELUARGA YANG MEMBACANYA, menggambarkan kekhawatiran sebagai efek tidak langsung dari keluarnya sebuah Kebijakan yang salah . dalam kapasitas ini maka tidak tepat untuk menyembunyikan dirinya sebagai Nara sumber .
(c) Narasumbernya harus kredibel. Informasi yang diberikan oleh narasumber kepada wartawan adalah informasi yang valid. Artinya, akurat dan kebenarannya tidak diragukan lagi. Jika informasi tidak valid, wartawan wajib menolak “pemberian” informasi tersebut. Di sinilah sumber informasi harus kredibel. Artinya sumber informasi dalam hal ini adalah orang atau pihak yang sangat dapat dipercaya. Sumber yang pembohong dan penipu tidak dapat dipakai sebagai sumber yang dapat dipercaya.
Maksudnya narasumber tersebut bukanlah narasumber tukang bohong, pembual dan penipu. Narasumber tersebut bukan pula orang yang suka ingkar janji. Sebaliknya narasumber haruslah orang amanah alias dipercaya. Hal ini penting agar informasi yang disampaikan kepada publik nantinya bukan informasi salah atau tidak tepat dan tidak akurat. Informasi yang menyangkut kepentingan publik yang salah, tidak tepat dan tidak akurat dapat menimbulkan salah persepsi, pelanggaran asas praduga tidak bersalah, kekacauan, kerugian materil dan moril, merendahkan martabat dan pelanggaran hukum. Oleh karena tidak dapat ditawar-tawar orang yang menjadi narasumber yang dirahasiakan harus terpercaya atau kredibel.
(d) Narasumbernya harus kompeten. Narasumber yang tidak diungkapkan identitas dan keberadaannya juga harus narasumber yang kompeten dalam bidang informasi yang diberikan. Narasumber ini bisa memang pakar yang mengetahui masalah itu tetapi dapat juga orang yang terlibat atau mengalami langsung masalahnya.
Narasumber haruslah orang yang kompeten dalam bidangnya atau sesuai dengan keahlian, pengetahuan atau pengalamannya. Misal kalau masalah yang diungkapkan adalah bahaya pemakaian teknologi nuklir di suatu daerah, narasumber yang dirahasiakan itu haruslah orang yang memiliki keahlian, pengetahuan atau pengalaman dalam pemakaian teknologi nuklir. Tidak bisa orang yang sama sekali awam soal teknologi nuklir. Orang yang awam bicara soal teknologi nuklir tetapi berbicara mengenai teknologi nuklir adalah orang yang tidak kompeten. Contoh lain kalau pers mau mengungkapkan tentang bahaya sebuah wabah penyakit di daerah tertentu narasumbernya haruslah harus dokter atau ahli kesehatan. Tidak bisa jika narasumbernya orang yang sama sekali tidak mengerti seluk beluk soal kesehatan tetapi ”berkotbah” soal kesehatan. Narasumber yang menguraikan soal wabah penyakit tetapi sebenarnya dia tidak menguasai soal kesehatan adalah narasumber yang tidak kompeten.
Pemakaian narasumber yang tidak kompeten untuk mengungkapkan sesuatu dan kemudian wartawan atau pers memakai hak tolak untuk melindungi dapat merugikan kepentingan publik karena telah diberikan informasi yang keliru, tidak akurat dan salah. Akibat pemberitaan informasi semacam itu membawa dampak buruk bagi publik.
Kompetensi narasumber selain dari segi keilmuannya dapat juga dilihat dari segi pengalamannya. Termasuk katagori narasumber yang kompeten mereka yang pernah mengalami suatu kejadian, baik sebagai saksi, korban maupun pelaku sepanjang apa yang dilihat dan dialaminya. Misalnya seorang tahanan politik yang pernah mengalami penyiksaan oleh suatu rezim. Pengalamannya disiksa dapat dikatagorikan sebagai kompeten, sepanjang menyangkut penyiksaannya. Dia adalah korban yang mengalami sehingga mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.
Contoh lain seorang gadis yang diperkosa oleh seorang tokoh masyarakat juga kompeten, sepanjang menyangkut perkosaan itu. Dia adalah korban yang mengalami sehingga mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.
(e) Berita harus bersifat faktual. informasi yang diberikan narasumber haruslah faktual. Artinya bukan fiktif dan bukan opini. Sebab kalau untuk opini narasumber dapat mengemukakan secara terbuka dan itu dilindungi sehingga menyembunyikan identitas dan keberadaan informasi yang bersifat opini hanya berarti “lempar batu sembunyi tangan.” Tegas, informasi harus bersifat faktual.
Perlu kami jelaskan bahwa Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers (“UU Pers”) adalah lex specialis (hukum yang lebih khusus) terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPer”) dan juga terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”). Sehingga dalam hal terdapat suatu permasalahan yang berkaitan dengan pemberitaan pers, peraturan perundang-undangan yang digunakan adalah UU Pers. Terhadap hal-hal yang tidak diatur di dalam UU Pers, baru kita merujuk kepada ketentuan-ketentuan di dalam KUHPer atau KUHP.
Penegasan mengenai hal tersebut juga ditegaskan Hinca IP Panjaitan dan Amir Effendi Siregar dalam buku yang berjudul Menegakkan Kemerdekaan Pers: “1001” Alasan, Undang-Undang Pers Lex Specialis, Menyelesaikan Permasalahan Akibat Pemberitaan Pers. Mereka menulis bahwa UU Pers adalah ketentuan khusus yang mengatur tentang pelaksanaan kegiatan jurnalistik: mulai dari mencari, memilah, dan memberitakannya sampai ke mekanisme penyelesaian permasalahan yang timbul akibat pemberitaan pers (hal. xvii). Oleh karena itu, menurut mereka, dalam menjalankan kegiatan jurnalistiknya, wartawan tidak dapat dihukum dengan menggunakan KUHP sebagai suatu ketentuan yang umum (lex generali). Dalam hal ini berlakulah asas yang universal berlaku, lex specialis derogate legi generali. Ketentuan khusus mengesampingkan ketentuan yang umum.
Mengenai siapa yang bertanggung jawab terhadap pemberitaan yang merugikan pihak lain, di dalam buku tersebut (hal. 147) Hinca dan Amir menjelaskan bahwa secara teknis hukum, perusahaan pers harus menunjuk penanggung jawabnya, yang terdiri dari 2 (dua) bidang yaitu, penanggung jawab bidang usaha dan penanggung jawab bidang redaksi. Mekanisme pertanggungjawaban yang dilakukan oleh wartawan diambilalih oleh perusahaan pers yang diwakili oleh penanggung jawab itu.
Hal tersebut sesuai dengan Pasal 12 UU Pers yang mengatakan bahwa perusahaan pers wajib mengumumkan nama, alamat dan penanggung jawab secara terbuka melalui media yang bersangkutan. Yang dimaksud dengan “penanggung jawab” adalah penanggung jawab perusahaan pers yang meliputi bidang usaha dan bidang redaksi.
3. Mekanisme penyelesaian yang dapat ditempuh dalam hal terdapat pemberitaan yang merugikan pihak lain adalah melalui hak jawab (Pasal 5 ayat [2] UU Pers) dan hak koreksi (Pasal 5 ayat [3] UU Pers). Hak jawab adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya, sedangkan hak koreksi adalah hak setiap orang untuk mengoreksi atau membetulkan kekeliruan informasi yang diberikan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain.
Hinca dan Amir dalam buku tersebut juga menjelaskan bahwa mekanisme penyelesaian permasalahan akibat pemberitaan pers adalah sebagai berikut (hal. 149-152, sebagaimana kami sarikan dan sesuaikan dengan adanya kode etik wartawan yang baru):
1. Pertama-tama dengan menggunakan pemenuhan secara sempurna pelayanan Hak Jawab dan Hak Koreksi. Hal ini dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang secara langsung kepada redaksi yang dalam hal ini mewakili perusahaan pers sebagai penanggungjawab bidang redaksi wajib melayaninya.
Orang atau sekelompok orang yang merasa dirugikan nama baiknya akibat pemberitaan itu harus memberikan data atau fakta yang dimaksudkan sebagai bukti bantahan atau sanggahan pemberitaan itu tidak benar.
Implementasi pelaksanaan Hak Jawab tersebut dapat dilihat pada Pasal 10 Peraturan Dewan Pers Nomor: 6/Peraturan-DP/V/2008 tentang Pengesahan Surat Keputusan Dewan Pers Nomor 03/SK-DP/III/2006 tentang Kode Etik Jurnalistik sebagai Peraturan Dewan Pers (“Kode Etik Jurnalistik”) (sebagai kode etik wartawan yang baru), yang menyatakan bahwa “Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan atau pemirsa”.
2. Selain itu, pelaksanaan Hak Jawab dan Hak Koreksi dapat dilakukan juga ke Dewan Pers (Pasal 15 ayat [2] huruf d UU Pers). Dikatakan bahwa salah satu fungsi Dewan Pers adalah memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers.
3. Permasalahan akibat pemberitaan pers dapat juga diajukan gugatan perdata ke pengadilan atau dilaporkan kepada polisi. Namun demikian, karena mekanisme penyelesaian permasalahan akibat pemberitaan pers diatur secara khusus di UU Pers muaranya adalah pada pemenuhan Hak Jawab atau Hak Koreksi, maka pengadilan (dalam kasus perdata) maupun penyidik atau jaksa atau hakim yang memeriksa dan mengadili perkara tersebut tetap menggunakan UU Pers dengan muaranya adalah pemenuhan Hak Jawab dan atau Hak Koreksi.
Tanggapan dari pers atas Hak Jawab dan Hak Koreksi tersebut merupakan kewajiban koreksi sebagaimana terdapat dalam Pasal 1 angka 13 UU Pers. Kewajiban Koreksi adalah keharusan melakukan koreksi atau ralat terhadap suatu informasi, data, fakta, opini, atau gambar yang tidak benar yang telah diberitakan oleh pers yang bersangkutan. Kewajiban koreksi ini juga merupakan bentuk tanggung jawab pers atas berita yang dimuatnya.
Pada praktiknya, penggunaan hak jawab ini dinilai berfungsi untuk menyelesaikan permasalahan secara damai, sebagaimana terdapat dalam artikel contoh : Hak Jawab Dimuat, Hendropriyono Tak Akan Tuntut The Jakarta Post.
Selain itu, Kode Etik Jurnalistik juga menyebutkan bahwa penilaian akhir atas pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan Dewan Pers. Sanksi atas pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan oleh organisasi wartawan dan atau perusahaan pers.
Pada sisi lain, pihak yang dirugikan oleh pemberitaan pers tetap punya hak untuk mengajukan masalahnya ke pengadilan, secara perdata atau pidana. Dalam perkara pidana menyangkut pers, hakim yang memeriksa perkara tersebut harus merujuk pada Surat Edaran Mahkamah Agung No. 13 Tahun 2008 tentang Meminta Keterangan Saksi Ahli (“SEMA 13/2008”). Sebagaimana ditulis dalam artikel Aparat Penegak Hukum Diminta Merujuk pada SEMA No. 13 Tahun 2008, berdasarkan SEMA No. 13 Tahun 2008 dalam penanganan/pemeriksaan perkara-perkara yang terkait dengan delik pers, majelis hakim hendaknya mendengar/meminta keterangan saksi ahli dari Dewan Pers, karena merekalah yang lebih mengetahui seluk beluk pers tersebut secara teori dan praktek.
dengan dasar dan Pertimbangan itulah maka Redaksi menyatakan menolak Penghapusan Berita dan memberikan waktu 7 x 24 Jam untuk melaksanakan Hak Jawabnya, baik dalam bentuk Klarifikasi atau Rilis TERTULIS HAK JAWAB.
PEMIMPIN REDAKSI TRUSTMEDIA.ID ALIMAN OEMAR
No. 1065-PWI/WU/DP/2017 .
DARI BERBAGAI SUMBER