QULTUM PAGI OLEH USTAD NURSALIM Makrifat Nafs*(pengetahuan tentang jiwa/diri)
Tulang bawang.Trust media.id
Imam /sayyidina Ali bin abu Tholib as…sang pintu gerbang ilmu nabi Muhammad saww..bersabda
“المَعرِفَةُ بِالنَّفسِ أنفَعُ المَعرِفَتَينِ”
“Pengetahuan tentang diri adalah yang paling bermanfaat dari dua jenis pengetahuan”
1. Syarah Lahiriah (Zahiri)
Secara zahir (tekstual), Imam Ali membandingkan dua macam pengetahuan:
Pengetahuan terhadap sesuatu di luar diri (makhluk, dunia, hukum, sains, dll).
Pengetahuan terhadap diri sendiri, seperti siapa kita, dari mana kita berasal, apa tujuan hidup.
Pengetahuan tentang diri dianggap lebih bermanfaat, karena:
Ia bersifat langsung memenuhi kebutuhan dan kesempurnaan jiwa serta menjadi syarat bagi introspeksi, taubat, dan amal saleh.
Pengetahuan luar tak berguna bila pelakunya tidak tahu batas dan kelemahan dirinya.
Contoh lahiriah: Orang yang tahu hukum zakat tapi tidak sadar dirinya bakhil, maka ilmu itu tak akan berguna tanpa ma’rifat al-nafs.
2. Syarah Filosofis
Dalam filsafat Islam (khususnya Hikmah Muta‘aliyah Mulla Shadra), manusia adalah entitas yang memiliki eksistensi bertingkat. Ma’rifat al-nafs adalah:
Jalan untuk menyadari wujud (eksistensi) dirinya.
Kunci untuk memahami hakikat jiwa: bahwa ia bersifat non-materi, abadi, dan berkembang.
Menurut para filsuf seperti Ibn Sina dan Mulla Shadra:
Jiwa manusia bersifat tunggal tapi memiliki banyak kekuatan (akal, amarah, syahwat).
Mengenal diri berarti memahami struktur wujudnya, seperti bagaimana akal memimpin nafsu.
Mulla Shadra bahkan menyebut ma’rifat al-nafs sebagai dalil langsung (burhan limmi) menuju wujud Allah: “Barang siapa mengenal wujud dirinya yang bukan materi, maka ia menyaksikan bahwa penciptanya Maha Ada.”
3. Syarah ‘Irfani (Tasawuf Falsafi/Falsafah Irfan)
Dalam pendekatan ‘irfani (gnostik): Jiwa manusia adalah cermin tajalli (penampakan) Tuhan.
Ma’rifat al-nafs adalah maqam awal suluk (perjalanan spiritual).
Dengan menyucikan diri dan mengenal kedirian sejatinya, arif akan menyaksikan bahwa “Tidak ada yang ada selain Allah” (la maujuda illa Allah).
Menurut Imam Khomeini dan para arif: Diri sejati bukanlah tubuh, bukan juga pikiran, tetapi ruh ilahi yang bersinar bila disingkap hijab. Maka, ma’rifat al-nafs membawa ke fana’ fi Allah (lenyap dalam Tuhan) dan baqa’ billah (kekal dengan Tuhan).
4. Syarah Tazkiyah (Irfan Amali)
Dari sudut pandang tazkiyah: Mengenal diri adalah mengenal penyakit dan potensi jiwa. Kita mengenali syirik tersembunyi, ujub, takabbur, hasad, dan mulai menyucikannya.
Tanpa ma’rifat al-nafs, seseorang tidak tahu bahwa dirinya sedang tenggelam dalam riya’, atau bahwa amalnya penuh dosa batin.
Ma’rifat ini menjadi syarat untuk taubat sejati, mujahadah (perjuangan melawan nafsu), dan menjadi hamba yang ikhlas.
5. Syarah Realitas Eksistensial
Secara eksistensial, hakikat realitas manusia adalah nafs atau jiwanya.
Ma’rifat al-nafs adalah konfrontasi jujur dengan hakikat eksistensi sendiri: dari mana aku, siapa aku, dan ke mana aku akan kembali.
Orang yang mengenal diri akan:
-Menyadari kefakiran mutlaknya pada Allah.
-Menyadari bahwa seluruh wujudnya bergantung kepada Yang Maha Wujud.
-Tidak lagi tertipu oleh ego, ilusi, dan kecintaan kepada dunia.
Imam Ali as juga bersabda:
“عَجِبْتُ لِمَنْ يَجْهَلُ نَفْسَهُ، كَيْفَ يَعْرِفُ رَبَّهُ؟”
“Aku heran pada orang yang tidak mengenal dirinya, bagaimana mungkin ia mengenal Tuhannya?”
Perkataan Amirul Mukminin Ali as ini bukan sekadar motivasi intelektual, tapi undangan untuk melakukan perjalanan batiniah:
Dari kebodohan menuju ilmu.
Dari keakuan menuju keilahian.
Ma’rifat al-nafs adalah pintu ma’rifatullah. Tanpa mengenal diri, seseorang hanya akan tenggelam dalam bayang-bayang pengetahuan, bukan realitas hakiki.
Semoga bermanfaat
اللهم صل علي محمد وال محمد وعجل فراجهم وارحمنابهم
(Red/n)