Trustmedia.id, Bandar Lampung – Beberapa kasus kekerasan yang dialami jurnalis di Lampung, seperti intimidasi dan pengancaman, tidak ada penyelesaian yang jelas.
Hal itu diungkapkan Direktur LBH Pers Bandar Lampung, Bangkit, saat diskusi dalam jaringan bertajuk ‘Kebebasan Pers dan Berekspresi’, yang digelar Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandar Lampung bersama LBH Pers dan LBH Bandar Lampung.
Diskusi itu digelar dalam memperingati World Press Freedom Day (WPFD) atau Hari Kebebasan Pers Sedunia, merujuk kasus-kasus kekerasan terhadap jurnalis, Senin, 3 Mei 2021.
“Saya pernah mengawal kasus jurnalis, bahkan sampai ke meja hijau dan finisnya itu tidak ada penyelesaian yang jelas, mengambang semua,” ujar Bangkit.
Menurutnya, Undang-Undang (UU) No.40 Tahun 1999 tentang Pers tidak pernah digunakan di Lampung, karena setiap kasus yang menimpa jurnalis tidak pernah ditindaklanjuti.
“Ketika teman-teman jurnalis menerima kekerasan, harus ada penyelesaian konkrit. Seminimal mungkin lapor Dewan Pers. Biar ada kerjaan juga Dewan Pers,” tegas Bangkit, dilansir IDNTimes.
Menurutnya, kondisi saat ini semakin memprihatinkan.
Di sisi lain, Bangkit juga menyoroti pemberitaan tentang pandemi Covid-19 yang hanya berasal dari satu sumber.
Bahkan jurnalis tidak diberi peluang apakah informasi tersebut benar atau tidak.
“Jurnalis hanya menjadi humas tanpa diberi peluang untuk mengkritisi. Apabila memberitakan berita lain, diintip-intip. Kita seolah bebas tapi banyak kebijakan mengintip,” ungkap Bangkit.
Dia melihat fungsi pers sebagai kritik sosial menjadi pudar dan aneh ketika mengkritik.
Apalagi UU ITE juga menjadi hambatan bagi jurnalis, sehingga harus selalu memberitakan yang baik-baik saja.
Persoalan dari dalam
Selain itu, adanya sikap pihak media yang pasif dalam membela jurnalisnya, saat mendapat kekerasan,
Bangkit meminta para jurnalis harus memiliki kesadaran untuk bisa ikut berserikat.
Sebab dari berserikat tersebut bisa mendorong kebebasan jurnalis itu sendiri.
“Persoalan dialami jurnalis tidak hanya dari luar, melainkan dari dalam juga yang kerap mengalami intervensi dari pemilik media,” ujar Bangkit.
Kebebasan berekspresi
Selain kekerasan terhadap pewarta, AJI Bandar Lampung juga menyoroti kebebasan berekspresi di Lampung.
Sepanjang Januari-April 2021, AJI mencatat tiga peristiwa berhubungan dengan kebebasan berekspresi.
Pertama, pelaporan mahasiswa Universitas Bandar Lampung (UBL) ke polisi usai demo menuntut keringanan uang kuliah tunggal (UKT).
Kedua, surat peringatan terhadap lima gubernur mahasiswa Politeknik Negeri Lampung (Polinela) karena berencana demo soal UKT.
Ketiga, skors dan drop out kepada sembilan mahasiswa teknik sipil Universitas Teknokrat Indonesia (UTI) setelah mendirikan sekretariat.
“Itu bukan yang pertama. Tahun lalu, jurnalis Teknokra Universitas Lampung (Unila) menjadi korban teror dan peretasan ketika hendak menggelar diskusi soal Papua,” terang Ketua AJI Bandar Lampung, Hendry Sihaloho.
Pada 2019, sekelompok orang membubarkan acara menonton bareng film ‘Kucumbu Tubuh Indahku’ di gedung Dewan Kesenian Lampung. (*)
FOTO: Ilustrasi/Istimewa